Perdana Konser di Jakarta, Lukas Graham Kisahkan Masa Kecilnya

Artikel ini telah dipublikasikan di:

https://radio.umn.ac.id/perdana-konser-di-jakarta-lukas-graham-kisahkan-masa-kecilnya/

Jakarta baru saja kedatangan Lukas Graham dalam konser perdananya tadi malam (01/10) dengan Hold My Hand sebagai lagu pembuka. Selama 90 menit konser berlangsung, penonton yang memenuhi The Kasablanka Hall, Mal Kota Kasablanka, mendapat kesempatan untuk mendengar kisah di balik lagu-lagu grup musik asal Denmark ini, seperti Not A Damn Thing Changed, Redemption Song, dan Funeral.

Tidak hanya mendendangkan lagu-lagu di album mereka, Lukas Forchhammer selaku frontman kerap berinteraksi dengan penonton dan membuat pertunjukan musik tersebut lebih hidup. Sebut saja, cerita-cerita kurang menyenangkan dari masa kecilnya. Dalam atmosfer yang dibalut nostalgia, pria kelahiran 1988 ini mengenang perjuangannya dalam mencari nafkah. “We didn’t have the government or the system that can really help us. So we have to help ourselves,” tuturnya.

Di balik semua itu Ultimafriends, Lukas mengaku masa kecilnya tetap layak disyukuri. Bagaimana pun, keluarganya selalu mengajarkan kasih sayang dan kebahagiaan di masa-masa sesulit apa pun. Masa lalu tersebut juga yang membuat ayah dari satu anak ini memahami bahwa materi bukanlah sumber utama kebahagiaan. “I wish I could teach my children that too because they don’t grow up like I did,” tambahnya sebelum menyanyikan lagu Happy Home yang mengisahkan tentang mendiang ayahnya.

Banyak berkaca pada perjalanan hidupnya, pria yang malam itu mengenakan batik motif garuda dan snapback hitam itu menyampaikan bahwa berbagi dengan sesama menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan, tak peduli hidup kekurangan maupun berkecukupan. “I bought myself a big house and what I’m trying to do instead of building fences is build the longer tables so I can feed more people,” ceritanya.

Lukas yang berkeliling dunia untuk Purple Tour sejak awal tahun ini sempat mengalami dilema mengingat ia sibuk berada di belahan dunia lain sedangkan anaknya berada di rumah. Pertanyaan retoris sempat terlontar, “On the other hand I’m making the money to make sure my daughter has a proper education. So it’s okay, right?”

Meski pekerjaan seringkali membuatnya jauh dari keluarganya, lagu yang berjudul Lullaby dalam Lukas Graham (Blue Album) menjadi bukti bahwa jarak tidak membuat hubungan dengan keluarganya menjauh. Semua ini tergambar dari intro lagu tersebut yang merupakan bunyi detak jantung sang buah hati, direkam sejak masih dalam kandungan dan ditulis pada dua minggu setelah anak tersebut lahir. Manis banget ya, Ultimafriends?

Sayangnya, penonton yang duduk di kategori Diamond VVIP dan Gold VIP tidak ikut sing along atau berdiri dari tempat duduk. Seakan-akan tersirat bahwa tidak semua penonton konser Lukas Graham tadi malam merasa excited dengan penampilan grup band asal Denmark ini.

Akhirnya terlontar pernyataan dari Lukas, “From where I from, nobody sits down on a concert,” yang juga merupakan ajakan untuk berdiri. Padahal, lagu-lagu yang dibawakan tidak terlalu asing seperti Drunk in The Morning, String No More, tidak lupa single yang baru dirilis beberapa hari lalu, Lie. Namun, lama kelamaan, tepatnya di penghujung konser, seisi The Kasablanka Hall kompak menyanyikan Love Someone dan membuat Lukas terkesima. Ia sampai berlutut dengan ekspresi speechless!

Masih banyak kota-kota yang akan dikunjungi Lukas Graham di The Purple Tour ini sampai akhirnya ia menutup konsernya di Copenhagen, Denmark. Semoga seluruh konsernya berjalan lancar dan dapat menjadi pengalaman yang menyenangkan baik bagi Lukas maupun penggemarnya ya, Ultimafriends!

Mengenal Jakarta Lebih Dekat dengan Berjalan Kaki

Jakarta, ibu kota Indonesia ini memiliki banyak pusat perbelanjaan yang tersebar hingga ke pinggir kota. Tak sedikit warga yang memilih untuk menghabiskan waktu dengan melihat-lihat seisi bangunan yang berisi toko-toko itu, meskipun sudah tahu apa yang ada di dalamnya karena bukan sekali dua kali mereka menginjakkan kaki di sana. Ruangan yang dingin dan terlindung dari paparan sinar matahari menjadi alasan mengapa lebih banyak warga Jakarta yang menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan dibandingkan mengunjungi tempat wisata outdoor.

Suatu siang di tempat yang berbeda, sekelompok orang terlihat berkumpul membentuk lingkaran di pinggir jalan ibu kota, mendengarkan narasi yang disampaikan oleh seseorang di tengah-tengah mereka. Langit biru cerah dan matahari yang bersinar hendak ikut menemani perjalanan mereka. Lalu lintas terlihat padat dan lancar, asap di aspal mengepul saking panasnya dan bergersekan dengan kendaraan yang berlalu lalang. Ternyata sekelompok orang tersebut pergi menuju tempat-tempat bersejarah di ibu kota dengan berjalan kaki di trotoar yang cukup lebar.

Agensi-agensi travel mulai menambahkan walking tour—begitu kegiatan ini disebut—sebagai kegiatannya agar para turis bisa lebih menikmati tempat wisata. Kegiatan ini pertama kali dilakukan di Eropa pada abad ke-17 dan 19, sebagai bagian dari pendidikan seorang pemuda kaya yang melibatkan kunjungan ke kota-kota, situs budaya, dan bangunan bersejarah. Kini, tur jalan kaki yang dipimpin oleh seorang pemandu wisata ini sering dilakukan di kota-kota besar di Eropa atau Amerika.

Keberadaan Walking Tour di Jakarta

Tak hanya di kota-kota besar di luar negeri, sekarang ibu kota Indonesia juga memiliki beberapa agensi tur sambil berjalan kaki yang bisa dicoba, salah satunya adalah Jakarta Good Guide yang terbentuk pada September 2014. Chanda dan Farid yang merupakan pendiri agensi tur ini terinspirasi dari walking tour yang mereka ikuti sewaktu di London, Inggris. Mereka menggandeng sembilan teman lainnya—yang juga memiliki surat izin resmi sebagai pemandu wisata—dalam mendirikan Jakarta Good Guide dengan berlandaskan sebuah misi, yaitu menjadikan Jakarta sebagai kota yang cocok untuk dijadikan tempat wisata karena sampai saat ini, Jakarta bukan destinasi utama turis mancanegara. Selain itu, kesebelas pemandu wisata ini ingin warga Jakarta dan sekitarnya tahu bahwa kota yang dulu bernama Batavia, memiliki banyak hal yang bisa dieksplor di balik kemacetannya.

Jakarta Good Guide memiliki tiga tur reguler yang berlangsung setiap hari. Tur yang memiliki peminat terbanyak ini berlangsung di Kota Tua, Pecinan Glodok, dan City Center yang mencakup Monumen Nasional, Mahkamah Konstitusi, Gereja Katedral Jakarta, Es Krim Ragusa, serta Masjid Istiqlal. Selain tur reguler, Jakarta Good Guide juga memilliki rute tur khusus akhir pekan, seperti di Thamrin, Senayan, Blok M, Jatinegara, dan Jalan Diponegoro.

Menurut Lelly, salah satu pemandu di agensi ini, tak ada kriteria khusus untuk menjadikan sebuah tempat sebagai destinasi baru tur. “Lokasi yang dipilih tentunya memiliki sejarah yang bisa diceritakan dan letaknya bisa dijangkau dengan berjalan kaki,” tuturnya. Ia juga menambahkan kalau Jakarta Good Guide akan terus menambahkan destinasi baru sesuai dengan minat peserta, seperti tur di Matraman yang pertama kali dilakukan akhir bulan April dan sekelompok peserta juga bisa meminta tur yang tidak ada di daftar.

Lelly, sang pemandu wisata ‘Senja di Senayan’ bersama Jakarta Good Guide (Foto: Aurelia Gracia)

Jika selama ini kita mengikuti tur berbayar, Jakarta Good Guide melakukan sistem pay-as-you-wish, sehingga para peserta bisa memberi tip pada pemandu wisata sesuai dengan kualitas pelayanannya. “Kami memberlakukan sistem itu karena di Indonesia belum ada tur yang bayarnya sukarela, jadi biar beda sama agensi-agensi lain dan supaya orang-orang penasaran ‘tur apa sih ini, kok gratis?’ begitu,” ujar Lelly.

Menurut pemandu wisata yang juga bekerja di Kementerian Pariwisata itu, antusias warga Jakarta dalam tur sambil berjalan kaki ini cukup baik walaupun belum tinggi karena alasan panas dan malas berjalan kaki. “Awal-awal kami bikin tur, nggak ada pesertanya sama sekali. Kemudian bertambah jadi satu orang, lima orang, sepuluh orang, sampai sekarang mencapai belasan dan di beberapa tempat juga ada yang dua puluhan,” ceritanya tertawa saat mengingat jumlah peserta tur yang hanya satu orang. Mengeksplor legenda yang belum banyak diketahui dan kekuatan cerita menjadi kunci dalam pemandu menyampaikan cerita agar peserta tur tak bosan.

Sudut Pandang Peserta Tur

Hiruk pikuk Jakarta membuat penat hampir seluruh warganya, terlebih di jam berangkat dan pulang kantor. Teriknya sinar matahari Mobil-mobil memenuhi jalan seolah mereka memarkirkan diri ditinggal pemiliknya. Klakson dibunyikan serentak ketika kendaraan di depannya tak kunjung bergerak ketika lampu lalu lintas berubah warna jadi hijau. Sumpah serapah keluar dari mulut para pengemudi yang lelah setelah hampir sehari penuh bekerja untuk mencari sesuap nasi. Di balik itu semua, ternyata Jakarta memiliki kesan tersendiri bagi setiap warganya, terutama mereka yang ingin melihat kota yang berusia 491 tahun ini.

Para peserta tur ‘Senja di Senayan’ saat menyusuri area Hutan Kota Senayan meskipun diiringi cuaca yang tidak cerah (Foto: Aurelia Gracia)

Vania Evan, seorang mahasiswi semester 6, kini lebih tertarik untuk mengikuti outdoor activities seperti tur sambil berjalan kaki di ibu kota dibandingkan menghabiskan waktu berjam-jam di mal. “Gue pikir Jakarta membosankan karena hiburannya cuma bisa ditemui di mal, tapi setelah gue mengulik Instagram, ternyata banyak tempat wisata yang punya banyak cerita seru di baliknya dan nggak cuma di Kota Tua, Glodok atau sekitar Monas,” ceritanya. Dari kegiatan ini, ia mendapatkan pengalaman baru yang jarang bisa dilakukan di hari biasa dan walking tour ini membuatnya merasa lebih dekat dengan tempat wisata, bukan dari dalam kendaraan yang hanya bisa melihat dari kaca.

Dari 16 pilihan tur yang ditawarkan, Vania memilih untuk mengikuti tur di Senayan karena ia ingin melihat Senayan dari sisi lain selain Plaza Senayan, Senayan City, dan gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi. Rasa penasaran menyelimutinya akan daerah yang dinilai elit oleh banyak orang, tapi ia yakin kalau ada cerita di baliknya yang menunggu untuk diungkap. “Sebelumnya gue pernah ikut tur sambil berjalan kaki di City Center. Dari situlah gue sadar kalau ada banyak cerita tentang Jakarta—kota di mana gue lahir dan hidup sampai sekarang. Siapa yang nggak ngomong ‘wow’ pas tahu kalau Tora Sudiro itu cucunya mantan Wali Kota Jakarta—Raden Sudiro? Atau fakta kalau Transjakarta ternyata bus transit yang punya jalur terpanjang di dunia? Mungkin lo juga baru tahu sekarang,” ujar Vania tertawa.

Terbiasa mengikuti tur-tur lainnya, wanita 21 tahun itu menyayangkan tidak adanya buklet yang berisi ringkasan tur dengan desain menarik. “Padahal bisa dikasih pas akhir atau mungkin optional kalau ada yang mau ambil supaya informasi yang udah disampaikan nggak hilang begitu aja, sekaligus jadi kenang-kenangan kalau kita pernah ikut turnya,” jelas Vania.

Sering kali warga Jakarta melakukan perbandingan antara kota yang ditinggalinya dengan kota-kota di luar negeri yang dinilai lebih hebat dan menarik, padahal ada banyak cerita yang ditawarkan dari kota ini yang seharusnya diketahui. Besar atau kecilnya sebuah kota bukan menjadi pembantas dalam mengeksplor setiap sudutnya karena setiap tempat memiliki ceritanya sendiri. Di sini seorang pemandu memegang kendali karena ia harus mengetahui rute yang aman dan nyaman untuk berjalan kaki, serta menemukan cara menuturkan sejarah yang sesuai dan bisa diterima oleh seluruh kalangan. Namun, kenyamanan itu tak hanya diciptakan oleh si pemandu, melainkan juga pemerintah yang perlu memfasilitasi trotoar dengan pohon-pohon rindang dan tempat duduk agar para pejalan kaki—juga peserta tur—nyaman ketika melewati jalan raya.